Intervensi pemerintah diperlukan untuk kepatuhan terhadap hak maternitas

Pekerja perempuan di Indonesia kerap terpaksa menyembunyikan kehamilannya karena takut kehilangan pekerjaan. Diskusi ILO menekankan pentingnya memasukkan hak maternitas ke dalam sistem jaminan sosial Indonesia.

News | Jakarta, Indonesia | 06 January 2022
Kendati sudah diatur dalam Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan, banyak pekerja perempuan yang belum menikmati hak maternitasnya. Riset tahun 2018 “Pelecehan Seksual dan Pengabaian Hak Maternitas pada Buruh Garmen” yang dilakukan oleh Perempuan Mahardhika menemukan 4 dari 25 pekerja perempuan menyembunyikan kehamilan mereka karena takut kehilangan pekerjaan dan pendapatan.

“Mereka menyembunyikannya di awal kehamilan karena akan berdampak pada kontrak mereka,” kata Vivi Widyawati, Peneliti dan Pelatih Gender Perempuan Mahardhika, dalam diskusi yang digelar oleh ILO bekerja sama dengan Magdalene, sebuah media daring perempuan. Mengangkat judul “Hak Cuti dan Tunjangan Melahirkan: Apakah Perempuan Sudah Terlindungi”, diskusi daring ini diadakan dalam rangka memperingati Hari Ibu pada bulan Desember.

Hamil ataupun tidak, perlakuannya sama saja. Target kerja mereka tetap tinggi dengan kesempatan istirahat yang terbatas dan adanya lembur. Akibatnya,tujuh dari 93 pekerja pernah mengalami keguguran dan tiga di antaranya tidak diberi cuti keguguran."

Vivi Widyawati, Peneliti dan Pelatih Gender Perempuan Mahardhika
Menurut Vivi, selain pemutusan hubungan kerja, kasus lain yang ditemukan seperti pembaruan kontrak jangka pendek hingga sebelum waktu melahirkan dan hilangnya manfaat menstruasi yang biasanya diberikan dalam bentuk uang tunai. Kehamilan yang disembunyikan juga dapat membahayakan kondisi pekerja perempuan karena mereka harus menahan rasa sakit, mulas dan keinginan buang air kecil.

“Hamil ataupun tidak, perlakuannya sama saja. Target kerja mereka tetap tinggi dengan kesempatan istirahat yang terbatas dan adanya lembur. Akibatnya,tujuh dari 93 pekerja pernah mengalami keguguran dan tiga di antaranya tidak diberi cuti keguguran,” kata Vivi.

Setelah melahirkan, tantangan lain yang dihadapi adalah akses ke ruang laktasi. Penelitian tersebut mengungkapkan meskipun beberapa perusahaan menyediakan ruang laktasi, pekerja perempuan enggan menggunakannya akibat tingginya tuntutan kerja—menambah deretan panjang hak-hak pekerja perempuan yang diabaikan.

Terlepas dari kondisi yang digambarkan dalam riset, beberapa perusahaan menunjukkan komitmen mereka untuk memenuhi hak perempuan pekerja, termasuk hak maternitas. Maya Juwita, Direktur Eksekutif Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE), mengatakan bahwa dengan dukungan dari pembeli atau pemilik jenama, perusahaan anggota patuh untuk memberikan hak perempuan pekerja.

“Praktik ini didorong oleh pembali dan pemilik jenama yang menghendaki kesejahteraan pekerja perempuan di pabrik tempat mereka produksi,” ujar Maya seraya menambahkan pekerja hamil juga akan dipindahkan ke lokasi yang lebih ramah dengan dukungan fasilitas yang dibutuhkan.

Mengintegrasikan perlindungan maternitas ke dalam sistema jaminan sosial

Lusiani Julia, Spesialis Gender ILO, mengatakan kalau perusahaan masih memandang pekerja yang sedang hamil sebagai “beban biaya”. “Kalau dilihat sebagai biaya, perusahaan cenderung menghindar, apalagi perusahaan yang mayoritas pekerjanya perempuan karena akan menimbulkan biaya yang sangat besar jika ingin menegakkan hak maternitas. Akibatnya, mereka memilih untuk tidak memperpanjang kontrak,” imbuhnya.

Kelas kehamilan bagi pekerja hamil di perusahaan garmen di Semarang, Jawa Tengah

Di Indonesia, ini bisa diintegrasikan ke dalam sistem BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan, sehingga dapat juga menghapus diskriminasi terhadap pekerja hamil yang masih sering terjadi."

Lusiani Julia, Spesialis Gender ILO
Oleh karena itu, ia menyarankan agar jaminan perlindungan maternitas dimasukkan ke dalam jaminan sosial yang ada. Dengan cara ini, kontribusi bisa ditanggung bersama oleh pengusaha, pekerja dan mungkin juga pemerintah, sehingga pekerja perempuan hamil akan dapat mengklaim haknya tanpa mengandalkan kepatuhan perusahaan.

“Dengan masuk ke dalam sistem jaminan sosial diharapkan dapat tercipta cakupan universal di mana semua orang bisa mendapatkannya termasuk pekerja informal yang jumlahnya justru mendominasi. Di Indonesia, ini bisa diintegrasikan ke dalam sistem BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan, sehingga dapat juga menghapus diskriminasi terhadap pekerja hamil yang masih sering terjadi,” ujar Lusiani.

Lusiani mencontohkan Yordania yang telah memasukkan perlindungan maternitas ke dalam sistem asuransi sosial untuk meningkatkan keadilan sosial, kesetaraan gender, serta memperluas cakupannya. Skema terintegrasi ini juga dirancang untuk meningkatkan peluang kerja perempuan dan mengurangi bias dalam mempekerjakan perempuan.

Ia juga mengutip Konvensi ILO No. 183 tentang Pelindungan Maternitas yang memberikan rincian perlindungan maternitas. Perlindungan ini mencakup kesehatan, cuti melahirkan, cuti karena sakit atau komplikasi, tunjangan tunai, perlindungan kerja dan non-diskriminasi, fasilitas laktasi dan tinjauan berkala apabila perempuan membutuhkan perpanjangan masa cuti.

Pemerintah memegang kunci. Mereka harus bisa meningkatkan pengawasan terhadap kepatuhan pengusaha dan meluangkan lebih banyak waktu untuk melihat perlindungan maternitas sebagai sebuah persoalan."

Vivi Widyawati, Peneliti dan Pelatih Gender Perempuan Mahardhika
Sementara, jika merujuk pada temuan studi oleh Perempuan Mahardika, Vivi mengakui bahwa praktik-praktik yang ada di negara ini belum selaras dengan konvensi tersebut mengingat banyak pekerja yang masih tetap bekerja di lingkungan yang membahayakan kesehatan ibu dan bayi. Untuk itu, ia mendorong peran pemerintah untuk meningkatkan sistema jaminan sosial guna memberi perlindungan lebih baik bagi pekerja perempuan.

“Kami terus mempromosikan pentingnya ratifikasi Konvensi ILO No. 183. Pemerintah memegang kunci. Mereka harus bisa meningkatkan pengawasan terhadap kepatuhan pengusaha dan meluangkan lebih banyak waktu untuk melihat perlindungan maternitas sebagai sebuah persoalan,” tutup Vivi.

Diskusi daring ini diselenggarakan oleh ILO melalui Program Perlindungan Sosial yang didanai oleh Pemerintah Jepang dan Fast Retailing Co., Ltd. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kebijakan perlindungan sosial dan implementasinya di Indonesia, termasuk perlindungan maternitas.

Acara ini ditayangkan secara langsung dan dapat ditonton melalui ILO TV Indonesia