#RatifyC190

Saatnya memecah kebungkaman terhadap kekerasan dan pelecehan di tempat kerja di Indonesia

Perwakilan pengusaha dan pekerja sepakat, dalam diskusi interaktif ILO, bahwa sudah saatnya semua pihak menganggap kekerasan dan pelecehan di tempat kerja sebagai masalah serius dan adanya kebutuhan mendesak akan mekanisme pelaporan dan penanganan kasus di tingkat perusahaan.

News | Jakarta, Indonesia | 10 October 2022
Diskusi interaktif mengenai temuan-temuan kunci dari laporan survei mengenai kekerasan dan pelecehan di tempat kerja.
ILO bekerja sama dengan Never Okay Project, sebuah organisasi yang menangani masalah pelecehan seksual di tempat kerja, melakukan diskusi interaktif saat peluncuran Survei tentang Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja 2022 pada akhir September di Jakarta. Diskusi menghadirkan narasumber utama yang mewakili dunia usaha, industri kreatif dan industri digital.

Momentumnya tepat waktu karena kita perlu mengakui hak setiap pekerja untuk bebas dari kekerasan dan pelecehan sesuai amanat Konvensi ILO No. 190."

Michiko Miyamoto, Direktur ILO untuk Indonesia
Dinar Titus Jogaswitani, Direktur Hubungan Kerja dan Pengupahan Direktorat Jenderal Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial, Kementerian Ketenagakerjaan, mengapresiasi inisiatif dilakukannya survei pekerja tentang kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Survei tersebut juga sejalan dengan upaya Kementerian Ketenagakerjaan dalam mempromosikan tempat kerja yang aman.

“Hubungan kerja yang harmonis adalah kunci. Karenanya keselamatan dan keamanan di tempat kerja penting untuk produktivitas tempat kerja. Kementerian Ketenagakerjaan telah menginisiasi pembentukan Satgas Kesetaraan dan Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja di sejumlah provinsi sebagai tanggapan langsung atas Undang-Undang Tindak Pidana Pelecehan Seksual No. 12 Tahun 2022 yang baru saja disahkan,” jelasnya di hadapan 150 peserta yang menghadiri peluncuran dan diskusi ini baik secara luring maupun daring.

“Momentumnya tepat waktu karena kita perlu mengakui hak setiap pekerja untuk bebas dari kekerasan dan pelecehan sesuai amanat Konvensi ILO No. 190. Hari ini, kita juga dapat mendiskusikan apa yang dapat kita lakukan bersama dan apa peran strategis kita masing-masing yang dapat mulai dilakukan untuk menciptakan tempat kerja yang aman dan produktif,” kata Michiko Miyamoto, Direktur ILO untuk Indonesia, seraya menambahkan bahwa tempat kerja yang aman juga dapat mendorong lebih banyak perempuan memasuki pasar kerja, terutama di sektor dan pekerjaan yang didominasi laki-laki.



Untuk membangun kepercayaan ini, penting bagi manajemen untuk memiliki komitmen dan ini harus datang dari atas ke bawah. Penting juga untuk mensosialisasikan temuan penting ini ke jaringan SDM dan perusahaan."

Maya Juwita, Direktur Eksekutif Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE)
Dalam diskusi interaktif, dari perspektif perusahaan, Maya Juwita, Direktur Eksekutif Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE), mengungkapkan keprihatinannya atas kurangnya kepercayaan dari pekerja sebagai korban kekerasan dan pelecehan untuk melapor kepada manajemen dan SDM apa yang mereka alami. Laporan survey mengungkapkan bahwa korban lebih memilih diam karena 45,61 persen dari mereka kurang percaya bahwa SDM/manajemen akan mengambil tindakan.

“Untuk membangun kepercayaan ini, penting bagi manajemen untuk memiliki komitmen dan ini harus datang dari atas ke bawah. Penting juga untuk mensosialisasikan temuan penting ini ke jaringan SDM dan perusahaan,” ujar Maya.

Dia juga menambahkan kebutuhan mendesak akan pelatihan tentang cara menangani kasus kekerasan dan pelecehan di tingkat perusahaan. “Ini untuk merespons hasil laporan yang menunjukkan 34,53 persen pekerja menyatakan tidak ada mekanisme di tempat kerja mereka. Pelatihan ini dapat membantu perusahaan untuk menyiapkan mekanisme yang tepat,” lanjutnya.

Sementara itu, membagikan pengalamannya bekerja di industri kreatif sebagai aktris, Hannah Al Rashid menjelaskan bahwa sejak tahun 2020, industri perfilman Indonesia telah berupaya memperbaiki kondisi kerja dan memberikan perhatian serius terhadap masalah ini. “Pekerja industri perfilman rentan terhadap pelecehan karena sifat pekerjaan yang tidak memiliki SDM dan juga tidak ada mekanisme pelaporan dan penanganan kasus. Saya mengalami pelecehan di tempat kerja berkali-kali dan tidak ada yang bisa saya lakukan selain mengesampingkannya agar tetap profesional, ”ujarnya.

Saya dengan gembira mengumumkan bahwa kami telah membuat produksi film percontohan di mana masalah pelecehan dituangkan ke dalam kontrak dan ada pelatihan pelecehan seksual."

Hannah Al Rashid, Aktris dan Advokasi Kesetaraan Gender
Untuk memecah kebungkaman dan memperbaiki kondisi kerja, Hannah dikenal aktif melakukan kampanye kesetaraan gender. Bersama dengan para aktris lainnya, Hannah telah mengadvokasi kesejajaran dan kesetaraan gender untuk lingkungan kerja yang aman di industri perfilman kepada asosiasi film dan asosiasi lainnya.

“Saya dengan gembira mengumumkan bahwa kami telah membuat produksi film percontohan di mana masalah pelecehan dituangkan ke dalam kontrak dan ada pelatihan pelecehan seksual. Poster anti-pelecehan juga dipasang di area syuting dan nomor telepon bantuan juga tersedia untuk pelaporan kasus,” tambahnya.

Peserta peluncuran survei mendukung penghapusan kekerasan dan pelecehan di tempat kerja.
Mengomentari temuan survei bahwa bekerja dari rumah atau bekerja di luar kantor tidak menjamin keselamatan pekerja dari kekerasan dan pelecehan di tempat kerja, Nenden S. Arum, Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi dari Jaringan Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara (SAFEnet), mengatakan bahwa ada peningkatan perundungan siber dan kekerasan berbasis gender daring dan, sebagai akibatnya, telah meningkatkan kerentanan pekerja.

Kita perlu mengakui bahwa pelecehan dan kekerasan daring sama seriusnya dengan pelecehan fisik."

Nenden S. Arum, Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi dari Jaringan Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara (SAFEnet)
“Masyarakat kita masih tidak menganggap kekerasan dan pelecehan daring sebagai masalah serius. Mereka berpendapat bahwa itu hanya lelucon lucu jadi jangan dianggap serius. Oleh karena itu, kita perlu mengakui bahwa pelecehan dan kekerasan daring sama seriusnya dengan pelecehan fisik,” ungkap Nenden.

Dia juga mendorong masyarakat untuk berdiri melawan kekerasan dan pelecehan dan berharap ada tindakan-tindakan untuk mencegah kekerasan dan pelecehan di tempat kerja. “Berbeda dengan kekerasan dan pelecehan fisik, kekerasan dan pelecehan daring meninggalkan jejak secara daring yang bisa lebih mudah dilacak oleh SDM. Setiap orang juga dapat bertindak sebagai saksi; karenanya, penting untuk memiliki mekanisme pelaporan,” pungkasnya.

Konvensi ILO No. 190 (K190) adalah perjanjian internasional pertama yang mengakui hak setiap orang atas dunia kerja yang bebas dari kekerasan dan pelecehan, termasuk kekerasan dan pelecehan berbasis gender. Diadopsi pada Juni 2019 oleh Konferensi Perburuhan Internasional ILO, K190 mulai berlaku pada 25 Juni 2021.

Laporan lengkap Survei Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja 2022 dapat diakses di sini.