Penelitian ILO merekomendasikan langkah-langkah mempersempit kesenjangan keterampilan digital di Indonesia

Penelitian ILO mengidentifikasi kekurangan keterampilan TIK dan memberikan rekomendasi utama untuk mempersempit kesenjangan digital di tujuh negara sasaran, termasuk Indonesia.

News | Jakarta, Indonesia | 26 May 2022
ILO membagikan temuan kunci dari proyek penelitian ILO yang dilakukan pada 2017-2020 tentang kurang mencukupinya keterampilan, strategi pengembangan keterampilan, dan tata kelola migrasi tenaga kerja internasional di tujuh negara melalui webinar berjudul “Kurang mencukupinya Personil TIK Terampil di Indonesia: Masih Dapatkah Kita Bersaing?” pada 19 Mei. Selain Indonesia, penelitian juga mencakup Kanada, China, Jerman, India, Singapura dan Thailand.

Dipaparkan oleh Shreya Goel, Pejabat Teknis Departemen Kebijakan Sektoral ILO di Jenewa, penelitian ini menemukan bahwa sektor TIK telah berkembang sangat pesat dalam beberapa tahun terakhir di tujuh negara yang diteliti dalam penelitian ini. Untuk Indonesia, pertumbuhan TIK telah dikaitkan dengan niaga-el dan layanan digital lainnya yang terus mendorong meningkatnya permintaan akan spesialis TIK.

Penelitian tersebut juga mengungkapkan bahwa spesialis TIK termasuk pekerja yang paling banyak diminati di banyak negara. Di Indonesia, sektor TIK saat ini mempekerjakan 998.000 pekerja. Selain itu, ada 500.000 orang yang bekerja sebagai profesional dan teknisi TIK pada 2018 di semua sektor.

Bahkan, pertumbuhan lapangan kerjanya jauh lebih besar di sektor lain yang menggunakan TIK daripada di sektor TIK itu sendiri, seperti di bidang niaga-el misalnya. Pasar berkembang pesat dipimpin oleh perusahaan teknologi dan digital termasuk Tokopedia, Go-jek, Traveloka dan Bukalapak.

Namun, penelitian tersebut juga menyoroti bahwa ketujuh negara tersebut menghadapi kekurangan jumlah tenaga spesialis TIK yang signifikan. Di Indonesia, kekurangan tersebut bervariasi tergantung pada tingkat kualifikasi pekerja TIK yang bersangkutan. Beberapa posisi atau pekerjaan tertentu lebih sulit untuk diisi dibandingkan yang lain.

Khusus untuk Indonesia, antara lain pengembang web/pemogram web, perancang grafis, pengembang dan pemogram front-end, pengembang Android, pengembang dan pemogram Java. Pada tingkat sektoral, sektor animasi Indonesia menghadapi kekurangan yang signifikan antara 15.000 hingga 20.000 spesialis TIK.

“Contoh-contoh ini menggambarkan pentingnya memahami kekurangan jumlah talenta di tingkat sektoral dan pekerjaan yang lebih teknis. Untuk mengatasi kekurangan talenta yang muncul di sektor TIK, penting juga untuk mengidentifikasi keterampilan khusus yang dibutuhkan,” jelas Shreya.

Oleh karena itu, penelitian ini diakhiri dengan beberapa rekomendasi utama, antara lain:

  • Berinvestasi dalam sistem antisipasi prakiraan keterampilan untuk lebih memahami kebutuhan saat ini dan masa depan;
  • Meningkatkan investasi di lembaga pendidikan pasca sekolah menengah dan staf pengajar;
  • Mendorong lebih banyak perempuan untuk belajar di bidang Sains, Teknologi, Teknik dan Matematika dan meningkatkan partisipasi mereka dalam pekerjaan TIK;
  • Mengatasi kesenjangan keterampilan antara keterampilan yang diperoleh di universitas atau lembaga vokasi dan keterampilan yang dibutuhkan oleh industri;
  • Meningkatkan fokus pelatihan dan pendidikan pada keterampilan lunak;
  • Berinvestasi dalam sistem pembelajaran seumur hidup yang efektif dan pelatihan berkelanjutan di bidang TIK; dan
  • Berinvestasi dalam sistem pembelajaran seumur hidup yang efektif dan pelatihan berkelanjutan di bidang TIK.
Menanggapi penelitian tersebut, M. Arif Hidayat, Kepala Biro Hubungan Internasional Kementerian Ketenagakerjaan, menyatakan bahwa pemerintah Indonesia telah menyadari kesenjangan keterampilan TIK yang ada dan telah melakukan upaya untuk mengatasi kesenjangan keterampilan digital ini. Beberapa tindakan yang dilakukan, antara lain, adalah transformasi Balai Latihan Kerja (BLK), pengembangan ekosistem kerja digital untuk memastikan keterampilan dan ketersesuaian pekerjaan serta penguatan dialog sosial melalui koordinasi antar pemangku kepentingan terkait khususnya untuk keterampilan vokasi digital.

Dari sudut pandang pengusaha, Danang Girindrawardana, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), menekankan pentingnya memenuhi kebutuhan spesialis TIK di tanah air dengan spesialis TIK sendiri. “Kami berharap para ahli TIK asing yang kita pekerjakan untuk memenuhi kurang mencukupinya keterampilan dapat mentransfer dan berbagi pengetahuan dan keahlian mereka untuk memperkuat kapasitas spesialis TIK lokal,” katanya.

Sementara dari sisi pekerja, Djoko Wahyudi, Ketua Federasi Serikat Pekerja Panasonic Gobel Indonesia, mengatakan serikat pekerja mendukung penuh perkembangan teknologi karena membantu meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja. “Namun, kita juga perlu mempertimbangkan dampak TIK terhadap standar ketenagakerjaan dan kondisi kerja. Kebijakan bekerja dari rumah, misalnya, berdampak pada jam kerja yang panjang serta keselamatan dan kesehatan kerja,” ujarnya mengingatkan.

Dalam hal memberikan kesempatan yang lebih besar bagi perempuan untuk terlibat dalam sektor TIK, William Hendradjaja, salah satu pendiri Skilvul, menggarisbawahi adanya kebutuhan penting untuk mengembangkan ruang yang aman dan nyaman bagi perempuan untuk belajar TIK. “Sektor TIK masih didominasi laki-laki; karenanya, kita perlu menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perempuan agar mau menekuni sektor ini dan kita perlu memperkenalkan pembelajaran TIK untuk perempuan sejak dini,” tegasnya.

Penelitian ini merupakan bagian dari proyek penelitian Pekerjaan Masa Depan dalam Teknologi Informasi dan Komunikasi di bawah Departemen Kebijakan Sektoral (SECTOR) ILO. SEKTOR mempromosikan pekerjaan yang layak dengan menangani masalah sosial dan ketenagakerjaan di sektor ekonomi tertentu, baik di tingkat internasional maupun nasional.

Siaran langsung dari peluncuran penelitian ini dan diskusi interaktifnya dapat ditonton melalui ILO TV Indonesia.