Kerja Cerdas: Upaya Menjaga Kesehatan Mental Pekerja untuk Keberlangsungan Usaha di Masa Pandemi
Penerapan kerja cerdas menjadi opsi tepat bagi pekerja dan perusahaan. Perlu dipersiapkan strategi di tingkat perusahaan untuk menjaga kesehatan mental pekerja agar produktivitas terus meningkat dan usaha berlanjut di masa pandemi.
Survei cepat yang dilakukan Tempo.co menemukan bahwa sebanyak 72,4 persen dari 2.700 pembaca yang mengikuti survei mengaku mengalami gangguan kesehatan mental. Ini sejalan dengan temuan Ipsos dan Forum Ekonomi Dunia yang mendata 13 ribu pekerja di 28 negara mengalami gangguan mental akibat rentannya keamanan kerja dan perubahan rutinitas.
Gangguan kesehatan mental pekerja berpotensi membawa dampak pada kerugian perekonomian hingga US$ 1 triliun per tahun secara global akibat menurunnya produktivitas. Di Swiss misalnya, biaya soal work-related stress di masa pandemi meningkat 600 juta Swiss Franc setiap bulan dari 7,6 miliar Swiss Franc saat sebelum pandemi berlangsung.
Pemerintah telah menyediakan layanan kesehatan jarak jauh (telemedisin) melalui aplikasi Sehat Jiwa, di mana pekerja dapat berkonsultasi dan melakukan konseling secara bebas biaya untuk mengatasi tekanan mental dalam bekerja."
Celestinus Eigya Munthe, Direktur Kesehatan Jiwa dan NAPZA Kementerian Kesehatan
“Kementerian Kesehatan mencatat pada 2020, 18 ribu orang mengalami gangguan jiwa, 23 ribu depresi dan 1.163 percobaan bunuh diri. Untuk itu, pemerintah telah menyediakan layanan kesehatan jarak jauh (telemedisin) melalui aplikasi Sehat Jiwa, di mana pekerja dapat berkonsultasi dan melakukan konseling secara bebas biaya untuk mengatasi tekanan mental dalam bekerja,” ujarnya.
Gangguan kesehatan mental yang dialami pekerja jika tidak segera diatasi dapat berujung pada menurunnya produktivitas usaha. Ini tentunya dapat menjadi ancaman bagi upaya pemerintah yang tengah gencar memulihkan ekonomi dan kesehatan.
Untuk itu, Nuri Purwito Adi, Kepala Prodi Spesialis Kedokteran Okupasi UI, menekankan pentingnya upaya mengenali gangguan mental disebabkan oleh faktor psikologis dan emosional. Tanda-tanda yang dapat diamati adalah munculnya gejala psikosomatis, merasa mual-mual hingga adanya perubahan perilaku secara signifikan dan penggunaan obat-obatan.
Ia pun mengingatkan pekerja yang ingin tetap menjaga keseimbangan kehidupan pribadi di tengah pekerjaan, perlu membuka komunikasi yang terbuka baik dengan keluarga maupun perusahaan. “Kita harus tahu kapan bermain peran sebagai pekerja dan urusan rumah tangga. Harus ada komitmen soal waktu dengan tim kerja,” pesan Nuri.
Lantas, bagaimana manajemen perusahaan mengantisipasi ancaman gangguan kesehatan mental para pekerjanya? Perwakilan PT Mitsubishi Motors Krama Yudha Indonesia, Rakhmat Aji Pratomo, menyampaikan bahwa mitigasi dilakukan dengan membentuk tim khusus untuk pencegahan COVID-19.
Untuk menciptakan kerja layak, yang penting adalah keterlibatan pekerja dalam pengambilan keputusan."
Rakhmat Aji Pratomo, PT Mitsubishi Motors Krama Yudha Indonesia
“Perusahaan melakukan kegiatan ini bersama dengan serikat pekerja. Untuk menciptakan kerja layak, yang penting adalah keterlibatan pekerja dalam pengambilan keputusan. Kegiatan yang dilakukan bisa sederhana, misalnya melakukan kuis dengan hadiah makanan yang dikirim ke rumah pekerja,” cerita Aji.
Sementara Grace Monica Halim, Staf Teknis ILO Jenewa, menegaskan bahwa kesehatan mental sudah menjadi perhatian ILO bahkan jauh sebelum COVID-19 ditetapkan sebagai pandemi global. “Kesehatan bukan cuma fisik, tetapi juga mental. Stres dapat menimbulkan efek-efek lain, termasuk kecelakaan kerja, kualitas kerja menurun,” ungkapnya.
Pekerja tidak berani mencari bantuan karena takut stigma,” ujar Grace, seraya menegaskan bahwa pandangan ini harus segera diredam demi kepentingan pekerja dan perusahaan. Untuk itu ILO selalu mendorong adanya dialog antara pekerja dan pengusaha untuk menghapus stigma-stigma seperti ini."
Grace Monica Halim, Staf Teknis ILO Jenewa
Stigma negatif terhadap pekerja dengan gangguan kesehatan mental masih menjadi hambatan besar bagi pekerja untuk meminta bantuan. “Mereka tidak berani mencari bantuan karena takut stigma,” ujar Grace, seraya menegaskan bahwa pandangan ini harus segera diredam demi kepentingan pekerja dan perusahaan. “Untuk itu ILO selalu mendorong adanya dialog antara pekerja dan pengusaha untuk menghapus stigma-stigma seperti ini.”
Selanjutnya, untuk memastikan keberlangsungan usaha dan ketenagakerjaan di masa pandemi, termasuk soal kesehatan mental pekerja, ILO saat ini sedang menginisiasi layanan penilaian risiko COVID-19 di tempat kerja yang menyasar kepada 1.500 tempat kerja di Indonesia. Melalui layanan ini, perusahaan akan diberikan bantuan teknis agar mampu melanjutkan dan memperluas operasi bisnis secara aman di masa pandemi.
Untuk pendaftaran dan informasi lebih lanjut dapat dilihat di laman ilocovidproject.id.
Siaran langsung diskusi interaktif dapat ditonton melalui ILO TV Indonesia