Forum Nelayan Asia Tenggara perkuat upaya perlindungan nelayan migran
Untuk memperkuat perlindungan bagi nelayan migran di kawasan Asia Tenggara, SEA Forum for Fishers menekankan pentingnya koordinasi terpadu di tingkat nasional dan regional selama dan sesudah pandemi COVID-19.
Perwakilan dari empat negara Asia Tenggara (Indonesia. Thailand, Filipina dan Kamboja) di bawah Kelompok Kerja SEA Forum for Fishers berkumpul pada akhir Mei untuk mengkaji dan membahas dampak pandemi COVID-19 terhadap perdagangan manusia dan kerja paksa dari sektor perikanan. Karantina, pembatasan perjalanan, pengurangan sumber daya dan langkah lainnya untuk mengurangi penyebaran virus corona ditemukan telah mengakibatkan para korban perdagangan manusia menjadi lebih berisiko tereksplotasi.
Forum Asia Tenggara untuk Mengakhiri Perdagangan Orang dan Kerja Paksa Nelayan (SEA Forum for Fishers) dibentuk oleh delapan negara Asia Tenggara pada 2019. Difasilitasi oleh Proyek SEA Fisheries ILO, Forum ini bertujuan untuk menyelaraskan dan memperkuat upaya-upaya yang ada untuk mengakhiri perdagangan manusia dan kerja paksa di industri perikanan di kawasan Asia Tenggara.
Selama pertemuan, para negara peserta berbagi berbagai langkah dan pengaturan yang dilakukan oleh para otoritas dan pemangku kepentingan nasional dalam menghadapi dampak pandemi ini. Mereka sepakat bahwa standar yang jelas dan praktik pengawasan ketenagakerjaan di antara negara serta kerja sama dan koordinasi terpadu dari masing-masing otoritas dalam menjalankan bendera negara, pelabuhan negara dan pembatasan wilayah diperlukan dalam mendorong penerapan peraturan secara efektif dan efisien untuk memberikan perlindungan yang lebih baik bagi nelayan dari risiko kerja paksa dan perdagangan serta dari pandemi.
Para peserta pun berbagi informasi terbaru mengenai pekerjaan eksploitatif yang dihadapi nelayan. Ilyas Pangestu, Ketua Serikat Pekerja Perikanan Indonesia (SPPI), berbagi kasus kerja paksa dan kekerasan yang dihadapi nelayan migran Indonesia di luar negeri. Ia pun menyerukan koordinasi dari para pemangku kepentingan di semua tahap ketenagakerjaan. “Kita harus terus mengkaji proses rekrumen dan penempatan nelayan migran baik di negara asal maupun tujuan.”
Para peserta sepakat bahwa standar yang jelas dan praktik pengawasan ketenagakerjaan di antara negara serta kerja sama dan koordinasi terpadu dari masing-masing otoritas dalam menjalankan bendera negara, pelabuhan negara dan pembatasan wilayah diperlukan dalam mendorong penerapan peraturan secara efektif dan efisien untuk memberikan perlindungan yang lebih baik bagi nelayan dari risiko kerja paksa dan perdagangan serta dari pandemi."
Guy Ryder, ILO Director-General
Merespons informasi terbaru tersebut, Rene Roberts, Spesialis Pengawas Ketenagakerjaan ILO, menyoroti pentingnya pengawas ketenagakerjaan dalam memberikan perlindungan yang lebih baik bagi pekerja, termasuk mereka yang bekerja di sektor perikanan. “Kita perlu memperkuat penerapan pengawasan ketenagakerjaan baik di tingkat nasional maupun regional seperti dibahas saat Konferensi Pengawasan Ketenagakerjaan ASEAN tahun lalu,” ia menambahkan.
Terkait dengan pandemi COVID-19, pertemuan ditutup dengan rekomendasi memperkuat pengawasan protocol K3 bagi kapal-kapal nelayan selama pandemi COVID-19. Rekomendasi lainnya adalah melibatkan pekerja dan pengusaha dalam proses pengawasan ketenagakerjaan.
Pertemuan ini didukung oleh ILO melalui Proyek SEA Fisheries ILO. Didanai oleh Didanai Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, Proyek ini bertujuan untuk memerangi perdagangan manusia di sektor perikanan dan makanan laut melalui penguatan koordinasi dan peningkatan efisiensi dan efektivitas upaya anti perdagangan di tingkat nasional dan regional di kawasan Asia Tenggara.