COVID-19: Mempromosikan kesetaraan gender

Memberikan perlindungan yang lebih baik kepada perempuan dari kekerasan dan HIV

Perempuan masih rentan terhadap kekerasan dan HIV. Webinar ILO membahas masalah penting ini untuk memperkuat gerakan melawan kekerasan dan kerentanan terhadap HIV bagi perempuan.

News | Jakarta, Indonesia | 06 November 2020
Kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu pelanggaran HAM yang paling tersebar luas di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Sejumlah penelitian dari seluruh dunia juga mengkonfirmasi hubungan antara kekerasan terhadap HIV. Perempuan yang hidup dengan HIV lebih mungkin mengalami kekerasan, dan perempuan yang pernah mengalami kekerasan lebih mungkin untuk terinfeksi HIV.

 
Untuk membahas lebih lanjut tentang kerentanan perempuan terhadap kekerasan dan HIV, ILO bekerja sama dengan Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Kesehatan mengadakan webinar, “Mengapa perempuan masih kesulitan melawan kerentanan terhadap kekerasan dan HIV”, pada 3 November 2020. Webinar ini menjangkau lebih dari 350 pemirsa.

Webinar tersebut menandai webinar ketiga dari delapan webinar yang dilakukan oleh ILO dan mitra sosialnya untuk meningkatkan kesadaran publik tentang HIV/AIDs di tempat kerja serta kaitannya dengan keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Membahas berbagai masalah mulai dari remaja, perempuan hingga praktik terbaik di tempat kerja dan komitmen pemerintah, webinar ini telah diselenggarakan dari pertengahan Oktober 2020 hingga Hari AIDS Sedunia pada 1 Desember 2020.

Kerentanan perempuan terhadap kekerasan dan HIV

“Ketika seorang perempuan mengalami kekerasan, dia tidak hanya akan menderita berbagai lapis ketidakadilan, yang meliputi pembatasan mobilitas, akses ke layanan kesehatan dan pendidikan, dia juga menjadi lebih rentan terhadap HIV sehingga menghilangkan kesempatan untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik dan kegiatan ekonomi,” kata Early D. Nuriana, Koordinator Program ILO untuk HIV, saat menyampaikan Rekomendasi ILO No. 200 tentang HIV/AIDs dan Dunia Kerja serta Konvensi ILO No. 190 tentang Kekerasan dan Pelecehan.

Karena status HIV-nya, mereka mengalami kekerasan ganda dan disalahkan saat mencari bantuan. Karena itu, IPPI menyerukan layanan ramah HIV untuk membantu para perempuan ini."

Baby Rivona Nasution, aktivis HIV dari Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI)
Baby Rivona Nasution, aktivis HIV dari Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI), mempresentasikan survei mini terbaru yang dilakukan IPPI kepada anggotanya di delapan kota. Survei menemukan bahwa mayoritas anggotanya mengalami setidaknya satu jika tidak semua jenis kekerasan dari kekerasan verbal, fisik, seksual dan reproduksi.

Sebagian besar korban pelecehan ini lebih suka diam karena mereka menghadapi diskriminasi yang lebih besar ketika mencoba melaporkan kasus mereka ke pihak berwenang atau mencari bantuan ke layanan medis. “Karena status HIV-nya, mereka mengalami kekerasan ganda dan disalahkan saat mencari bantuan. Karena itu, IPPI menyerukan layanan ramah HIV untuk membantu para perempuan ini, ”kata Baby.

Migrasi yang aman harus dilihat secara holistik dengan memberikan pelatihan yang tepat tidak hanya untuk keterampilan kerja, tetapi juga memberikan pengetahuan yang lebih baik tentang kesehatan reproduksi dan pencegahan HIV di setiap siklus migrasi."

Anis Hidayah, Kepala Pusat Studi Migrant Care
Dari perspektif pekerja migran, Anis Hidayah, Kepala Pusat Studi Migrant Care, berbagi tentang kerentanan pekerja migran terhadap pelecehan seksual dan HIV. Tabu budaya dan keyakinan agama, yang diikat dengan rasa malu dan rahasia, telah menghambat pendidikan yang layak tentang kesehatan reproduksi dan seks aman bagi calon pekerja migran sebelum bekerja jauh dari keluarga mereka di negara tujuan.

“Migrasi yang aman masih sebatas prosedur administratif. Kekerasan dan kerentanan HIV berpotensi terjadi di setiap siklus migrasi. Migrasi yang aman harus dilihat secara holistik dengan memberikan pelatihan yang tepat tidak hanya untuk keterampilan kerja, tetapi juga memberikan pengetahuan yang lebih baik tentang kesehatan reproduksi dan pencegahan HIV di setiap siklus migrasi,” kata Anis.

Mempromosikan tempat kerja yang bebas pelecehan

Program ini melibatkan komitmen dari seluruh jajaran pimpinan perusahaan mulai dari CEO, supervisor dan pekerja itu sendiri. Program ini memberikan pemahaman yang baik tentang kesetaraan, kekerasan, pelecehan seksual dan cara mencegah atau menyelesaikannya sebagai bagian dari program perusahaan. Hasilnya tidak hanya perubahan lingkungan kerja yang positif, tapi juga perubahan pada masyarakat sekitar."

Shelly Woyla, Staf yang membawahi gender dari program ILO Better Work Indonesia (BWI)
Pekerja di sektor garmen yang mayoritas adalah perempuan juga menghadapi kerentanan yang sama terhadap kekerasan dan HIV. Namun, Shelly Woyla, Staf yang menangani gender dari program ILO Better Work Indonesia (BWI), mengatakan bahwa BWI telah memprakarsai program yang mempromosikan kesadaran tentang kekerasan berbasis gender, termasuk HIV: Program Tempat Kerja yang saling Menghormati (RWP).

“Program ini melibatkan komitmen dari seluruh jajaran pimpinan perusahaan mulai dari CEO, supervisor dan pekerja itu sendiri. Program ini memberikan pemahaman yang baik tentang kesetaraan, kekerasan, pelecehan seksual dan cara mencegah atau menyelesaikannya sebagai bagian dari program perusahaan. Hasilnya tidak hanya perubahan lingkungan kerja yang positif, tapi juga perubahan pada masyarakat sekitar,” jelas Shelly.

Program pendidikan tempat kerja di PT USG mencakup sosialisasi HIV (c) ILO/F. Latief
Salah satu perusahaan BWI yang telah melaksanakan program ini adalah PT Ungaran Sari Garment (USG) di Semarang, Jawa Tengah. Dengan total 300 pekerja di mana 95 persen di antaranya adalah perempuan, PT USG telah memasukkan perlindungan HIV dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB), yang menjelaskan tentang HIV dan masalah tempat kerja serta membangun layanan kesehatan lain bagi pekerja perempuan seperti program kehamilan.

Kami ingin menciptakan lingkungan kerja di mana pekerja merasa terlindungi dan nyaman dan mereka juga merasa dihormati dalam lingkungan kerja yang setara, termasuk bagi pekerja dengan HIV."

Nur Arifin, Manajer Senior Sumber Daya Manusia dan Kepatuhan PT USG
“Kami ingin menciptakan lingkungan kerja di mana pekerja merasa terlindungi dan nyaman dan mereka juga merasa dihormati dalam lingkungan kerja yang setara, termasuk bagi pekerja dengan HIV,” kata Nur Arifin, Manajer Senior Sumber Daya Manusia dan Kepatuhan PT USG.

Webinar tersebut diakhiri dengan tinjauan terhadap hukum dan peraturan yang ada terkait dengan perlindungan terhadap pekerja perempuan. Tresye Widiastuty Paidi, Pengawas Ketenagakerjaan Kementerian Tenaga Kerja, menyampaikan berbagai undang-undang dan peraturan terkait. Namun, dia mengakui undang-undang yang ada belum memberikan sanksi yang memadai. Meskipun pasal 6 UU Ketenagakerjaan No.13 / 2003 telah mengatur terkait perlakuan yang sama tanpa diskriminasi, namun dalam pelaksanaannya sanksi yang diberikan hanya sanksi administrasi.

“Kurangnya keterbukaan, rasa malu dan kerahasiaan membuat perempuan menyimpan masalah mereka terhadap kekerasan dan HIV untuk diri mereka sendiri. Kita perlu memutus siklus ini,” pungkasnya.