Dampak kami, suara mereka

Dari pekerja migran menjadi aktivis serikat pekerja

Belajar dari pengalamannya mengalami eksploitasi sebagai pekerja rumah tangga migran, Dina Nuriyati telah menjadi advokat dan aktivis serikat pekerja yang tak kenal lelah mempromosikan perlindungan dan layanan yang lebih baik bagi pekerja migran Indonesia di seluruh siklus migrasi.

Feature | Malang, Jawa Timur, Indonesia | 21 April 2021
Dina Nuriyati
Sebagai Ketua Divisi Riset dan Kerja Sama Internasional Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), kegiatan sehari-hari Dina Nuriyati diisi dengan melakukan wawancara dan diskusi kelompok terarah, koding dan analisis data tentang migrasi kerja. Melalui penelitian, dia ingin mempromosikan dan mengadvokasi hak-hak pekerja migran.

Penderitaan pekerja migran Indonesia, khususnya pekerja migran perempuan, merupakan penderitaan yang sangat ia rasakan sebagai seorang pekerja rumah tangga migran di Hongkong lebih dari dua dasawarsa lalu. Ia memulai perjalanannya sebagai pekerja migran di usia 17 tahun setelah menyelesaikan sekolah menengah atas tanpa mengetahui hak-haknya sebagai pekerja. Dia hanya tahu bahwa dia harus membantu membebaskan keluarganya dari hutang.

Karena ketidaktahuan, saya tidak melihat kondisi tersebut sebagai masalah yang serius. Saya tidak memiliki akses ke informasi kecuali apa yang dikatakan oleh agen tenaga kerja kepada saya. Saya tidak tahu bahwa apa yang saya dan pekerja migran lainnya alami sesungguhnya merupakan pelanggaran hak."

Dina Nuriyati
“Saya anak ketiga dari enam bersaudara yang berasal dari Malang, Jawa Timur. Meski orang tua saya berkeinginan semua anaknya mendapatkan pendidikan yang baik, saya tahu bahwa orang tua saya tidak mampu dan saya perlu membantu mereka. Pekerjaan yang biasa dilakukan perempuan di kota asal saya adalah menjadi pekerja migran,” kisahnya.

Dina menghabiskan dua tahun berikutnya merantau di Hongkong, berharap dapat menabung penghasilannya untuk membantu keluarga dan melanjutkan mimpinya ke universitas. Namun, ia malah tidak digaji dan tidak mendapatkan hari libur selama dua bulan. Setelah itu, dia hanya menerima gaji yang jauh lebih sedikit, HK $ 2000 ($258), dibandingkan gaji yang ditetapkan dalam kontrak (HK $ 3860 ($ 497). Dia pun hanya diberikan dua hari libur per bulan, setengah dari ketentuan hukum yang berlaku.

“Karena ketidaktahuan, saya tidak melihat kondisi tersebut sebagai masalah yang serius. Saya tidak memiliki akses ke informasi kecuali apa yang dikatakan oleh agen tenaga kerja kepada saya. Saya tidak tahu bahwa apa yang saya dan pekerja migran lainnya alami sesungguhnya merupakan pelanggaran hak,” ungkapnya. Saat itu, yang paling penting baginya adalah tidak ada perlakuan kekerasan dari majikan.

Ia mulai menyadari hak-haknya saat bertemu dengan para pekerja migran lain dari Indonesia dan negara lain selama kelas bahasa yang ia ambil saat libur. Ia kemudian terlibat aktif dalam koalisi buruh migran. Hasilnya, tiga tahun kemudian pada 1999, dia berhasil mendapatkan kontrak baru dengan pendapatan sesuai kontrak serta satu hari libur per minggu..

Bertransformasi menjadi aktivis buruh

Sekembalinya ke Indonesia, Dina melanjutkan pekerjaan advokasinya demi memastikan pekerja migran perempuan dibekali pengetahuan dan informasi untuk menghindari eksploitasi yang pernah dialaminya. Dia juga mewujudkan mimpinya dengan melanjutkan kuliah di universitas dan mendapatkan gelar Master di bidang kebijakan ketenagakerjaan dan globalisasi pada 2009 dari Kassel University dan Berlin School of Economic and Law di Jerman.

Program penelitian aksi partisipatif (PAR) yang diadakan di salah satu desa di Blitar

Masalah ketenagakerjaan telah menjadi minat ketertarikan saya sejak dulu."

Dina Nuriyati
Bersama sesama pekerja migran lainnya, ia mendirikan organisasi buruh yang terfokus pada hak-hak pekerja migran: Federasi Organisasi Buruh Migran Indonesia (FOBMI), yang saat ini dikenal sebagai SBMI. Terpilih sebagai ketua pertama, ia berhasil mendorong reformasi hukum yang lebih melindungi pekerja migran, meningkatkan kesadaran di antara perempuan tentang hak-hak mereka, dan membantu pekerja migran lainnya untuk berorganisasi.

“Masalah ketenagakerjaan telah menjadi minat ketertarikan saya sejak dulu,” tukasnya.

Untuk terus mempromosikan hak-hak pekerja migran, Dina terlibat dalam program penelitian aksi partisipatif (PAR) sebagai koordinator penelitian sejak 2019, sebuah program bersama antara program Safe and Fair ILO, SBMI dan Kementerian Ketenagakerjaan. Terfokus pada peningkatan layanan bagi pekerja migran perempuan dan keluarganya di tingkat desa, program PAR yang semula dilakukan di lima desa di lima kabupaten yang dikenal sebagai daerah pengirim pekerja migran, kini telah diperluas menjadi 36 desa.

“Saya senang dapat terlibat dalam program ini. Melalui program ini, saya memiliki kesempatan untuk berbagi pengalaman dan melibatkan semua pemangku kepentingan di tingkat desa mulai dari pemerintah daerah, tokoh masyarakat hingga pekerja migran, calon pekerja migran dan keluarganya agar lebih memahami hal-hal terkait migrasi kerja dan menjadi bagian dari upaya pemberian layanan yang lebih baik demi mencegah eksploitasi dan perdagangan orang,” kata Dina.

Layanan tersebut mencakup layanan yang lebih responsif gender dengan memberikan informasi yang dapat diandalkan, pengelolaan kasus (termasuk rujukan), bantuan hukum dan layanan dukungan lainnya kepada calon pekerja dan pekerja migran yang sudah pulang serta keluarga mereka."

Sinthia Dewi Harkrisnowo, koordinator ILO Program Safe and Fair
Hasil program PAR digunakan untuk memperkuat dan memperluas layanan yang diberikan oleh Pusat Informasi dan Sumber Daya Pekerja Migran yang dikelola organisasi pekerja migran di tingkat desa. Untuk mendukung pelaksanaan Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) pemerintah Indonesia, sebagaimana diatur dalam pasal 38 Undang-Undang No. 18/2017 tentang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, Pusat Informasi ini telah diintegrasikan ke dalam LTSA pada 2019.

“Integrasi tersebut telah memperluas layanan yang diberikan untuk menjangkau komunitas pekerja migran secara langsung dan bukan sekedar layanan administratif. Layanan tersebut mencakup layanan yang lebih responsif gender dengan memberikan informasi yang dapat diandalkan, pengelolaan kasus (termasuk rujukan), bantuan hukum dan layanan dukungan lainnya kepada calon pekerja dan pekerja migran yang sudah pulang serta keluarga mereka,” jelas Sinthia Dewi Harkrisnowo, koordinator ILO Program Safe and Fair.

Program Safe and Fair yang didanai oleh Uni Eropa, dilaksanakan oleh ILO dan UN Women. Program ini bertujuan untuk memperkuat kepemimpinan, suara pekerja migran perempuan dan penguatan kapasitas melalui peningkatan keterlibatan pemerintah, organisasi pekerja dan pengusaha serta jaringan perempuan dan migran.