Dampak kami, suara mereka
Dari pekerja migran menjadi aktivis serikat pekerja
Belajar dari pengalamannya mengalami eksploitasi sebagai pekerja rumah tangga migran, Dina Nuriyati telah menjadi advokat dan aktivis serikat pekerja yang tak kenal lelah mempromosikan perlindungan dan layanan yang lebih baik bagi pekerja migran Indonesia di seluruh siklus migrasi.

Penderitaan pekerja migran Indonesia, khususnya pekerja migran perempuan, merupakan penderitaan yang sangat ia rasakan sebagai seorang pekerja rumah tangga migran di Hongkong lebih dari dua dasawarsa lalu. Ia memulai perjalanannya sebagai pekerja migran di usia 17 tahun setelah menyelesaikan sekolah menengah atas tanpa mengetahui hak-haknya sebagai pekerja. Dia hanya tahu bahwa dia harus membantu membebaskan keluarganya dari hutang.
Karena ketidaktahuan, saya tidak melihat kondisi tersebut sebagai masalah yang serius. Saya tidak memiliki akses ke informasi kecuali apa yang dikatakan oleh agen tenaga kerja kepada saya. Saya tidak tahu bahwa apa yang saya dan pekerja migran lainnya alami sesungguhnya merupakan pelanggaran hak."
Dina Nuriyati
Dina menghabiskan dua tahun berikutnya merantau di Hongkong, berharap dapat menabung penghasilannya untuk membantu keluarga dan melanjutkan mimpinya ke universitas. Namun, ia malah tidak digaji dan tidak mendapatkan hari libur selama dua bulan. Setelah itu, dia hanya menerima gaji yang jauh lebih sedikit, HK $ 2000 ($258), dibandingkan gaji yang ditetapkan dalam kontrak (HK $ 3860 ($ 497). Dia pun hanya diberikan dua hari libur per bulan, setengah dari ketentuan hukum yang berlaku.
“Karena ketidaktahuan, saya tidak melihat kondisi tersebut sebagai masalah yang serius. Saya tidak memiliki akses ke informasi kecuali apa yang dikatakan oleh agen tenaga kerja kepada saya. Saya tidak tahu bahwa apa yang saya dan pekerja migran lainnya alami sesungguhnya merupakan pelanggaran hak,” ungkapnya. Saat itu, yang paling penting baginya adalah tidak ada perlakuan kekerasan dari majikan.
Ia mulai menyadari hak-haknya saat bertemu dengan para pekerja migran lain dari Indonesia dan negara lain selama kelas bahasa yang ia ambil saat libur. Ia kemudian terlibat aktif dalam koalisi buruh migran. Hasilnya, tiga tahun kemudian pada 1999, dia berhasil mendapatkan kontrak baru dengan pendapatan sesuai kontrak serta satu hari libur per minggu..
Bertransformasi menjadi aktivis buruh
Sekembalinya ke Indonesia, Dina melanjutkan pekerjaan advokasinya demi memastikan pekerja migran perempuan dibekali pengetahuan dan informasi untuk menghindari eksploitasi yang pernah dialaminya. Dia juga mewujudkan mimpinya dengan melanjutkan kuliah di universitas dan mendapatkan gelar Master di bidang kebijakan ketenagakerjaan dan globalisasi pada 2009 dari Kassel University dan Berlin School of Economic and Law di Jerman.
Masalah ketenagakerjaan telah menjadi minat ketertarikan saya sejak dulu."
Dina Nuriyati
“Masalah ketenagakerjaan telah menjadi minat ketertarikan saya sejak dulu,” tukasnya.
Untuk terus mempromosikan hak-hak pekerja migran, Dina terlibat dalam program penelitian aksi partisipatif (PAR) sebagai koordinator penelitian sejak 2019, sebuah program bersama antara program Safe and Fair ILO, SBMI dan Kementerian Ketenagakerjaan. Terfokus pada peningkatan layanan bagi pekerja migran perempuan dan keluarganya di tingkat desa, program PAR yang semula dilakukan di lima desa di lima kabupaten yang dikenal sebagai daerah pengirim pekerja migran, kini telah diperluas menjadi 36 desa.
“Saya senang dapat terlibat dalam program ini. Melalui program ini, saya memiliki kesempatan untuk berbagi pengalaman dan melibatkan semua pemangku kepentingan di tingkat desa mulai dari pemerintah daerah, tokoh masyarakat hingga pekerja migran, calon pekerja migran dan keluarganya agar lebih memahami hal-hal terkait migrasi kerja dan menjadi bagian dari upaya pemberian layanan yang lebih baik demi mencegah eksploitasi dan perdagangan orang,” kata Dina.

Layanan tersebut mencakup layanan yang lebih responsif gender dengan memberikan informasi yang dapat diandalkan, pengelolaan kasus (termasuk rujukan), bantuan hukum dan layanan dukungan lainnya kepada calon pekerja dan pekerja migran yang sudah pulang serta keluarga mereka."
Sinthia Dewi Harkrisnowo, koordinator ILO Program Safe and Fair
“Integrasi tersebut telah memperluas layanan yang diberikan untuk menjangkau komunitas pekerja migran secara langsung dan bukan sekedar layanan administratif. Layanan tersebut mencakup layanan yang lebih responsif gender dengan memberikan informasi yang dapat diandalkan, pengelolaan kasus (termasuk rujukan), bantuan hukum dan layanan dukungan lainnya kepada calon pekerja dan pekerja migran yang sudah pulang serta keluarga mereka,” jelas Sinthia Dewi Harkrisnowo, koordinator ILO Program Safe and Fair.
Program Safe and Fair yang didanai oleh Uni Eropa, dilaksanakan oleh ILO dan UN Women. Program ini bertujuan untuk memperkuat kepemimpinan, suara pekerja migran perempuan dan penguatan kapasitas melalui peningkatan keterlibatan pemerintah, organisasi pekerja dan pengusaha serta jaringan perempuan dan migran.